Merdeka!

Sekitar dua bulan belakangan ini, saya melihat ada sebuah bangunan mirip halte bis, yang berdiri di depan Pasar Klandasan. Atapnya berongga, dan bagian belakangnya tidak tertutup seperti bangunan-bangunan halte yang biasa saya lihat. Awalnya saya pikir bangunan itu adalah model terbaru dari halte zaman sekarang. Yang meskipun tidak tertutup sempurna, tapi bisa melindungi pengunjung dari teriknya sengatan matahari maupun derasnya hujan.

***

Sampai akhirnya di suatu siang yang panas banget, saya test berdiri dibawah ‘halte tapi bukan halte’ itu. Pengen tahu, rasanya kayak apa kalau berada di bawahnya. Rupanya tetap saja saya kena sengatan matahari yang ganas siang itu. Saya pun terheran-heran. Pikir saya, “Sebenarnya bangunan ini untuk apa, sih? Apakah halte yang belum jadi atau bagaimana? Tapi kalau memang belum rampung sepenuhnya, koq nampaknya tidak ada tanda-tanda kelanjutan pembangunan halte di sekitarnya?”

 

20130823-093439.jpg

Beberapa bulan sebelum kemunculan si ‘halte tapi bukan halte’ tersebut, ada satu bangunan yang kali ini dibangun tepat di sebelah kanan pintu masuk utama Pasar Klandasan. Saya sebut namanya timbangan ngejreng. Karena warnanya yang ngejreng itu menarik mata saya ketika pertama kali melihatnya. Saya pun bertanya kepada Pak A, salah satu pedagang yang berjualan di dekat timbangan ngejreng, tentang tujuan si timbangan didirikan disitu.

***

Menurut Pak A tujuannya adalah.. ya untuk menimbang, bukan untuk masak :D . Saya tanya lagi, “Tapi untuk apa? Pembeli kan sudah menimbang barang yang dibelinya di kios penjual. Jadi untuk apa lagi ditimbang di timbangan ngejreng itu? Apa mau diklaim lagi ke kios penjual kalau misalnya beratnya tidak sama seperti yang tertera pada timbangan ngejreng? Wah itu namanya buang-buang waktu dong. Kalau misalnya belanjaan saya ada dua puluh macam, masak satu-satu saya timbang lagi disitu? Lalu kalau misalnya semuanya kurang, saya kembali lagi ke satu per satu kios penjual???? Wah, itu mah judulnya tidak efisien banget. Malah bisa jadi gara-gara timbangan ini, pembeli dan penjual jadi bertengkar. Iya, kan, Pak? Mestinya pemerintah itu kalau bangun sesuatu jangan tanggung-tanggung ya, Pak? Sekalian saja bikin satu-satu timbangan ngejreng di tiap kios. Iya, toh??” Pak A nyengir saja mendengar saya nyerocos.

***

Dan saya perhatikan, tiap kali saya berbelanja di Pasar Klandasan, tidak ada seorangpun yang menggunakan timbangan ngejreng ini untuk mengukur ulang belanjaannya. Sayang sekali, bukan?

20130823-093457.jpg

Selain ‘timbangan ngejreng’ dan ‘halte tapi bukan halte’ itu, ada satu lagi proyek yang masih berada di sekitar Pasar Klandasan, yang menurut saya tidak tepat sasaran dan tidak tepat guna. Yaitu penanaman tanaman di atas trotoar. Sudahlah trotoar lebarnya cuma seiprit, kadang motor pun diparkir di trotoar, ehh sekarang nyempil pula lagi tanaman di atasnya. Lahan untuk pejalan kaki, kan, tinggal sedikit jadinya. :( .

20130823-093424.jpg

Sementara di Balikpapan ini dibikin proyek-proyek yang menurut saya tidak perlu, di kampung saya di Samosir sana, masih banyak desa tertinggal yang perlu dibangun. Jalan raya desa yang setiap hari dilewati oleh masyarakat, kondisinya pun hancur-hancuran. Yang sangat diperlukan oleh masyarakat tidak dibangun, tapi yang tidak diperlukan justru dibangun. Yang sangat penting untuk masyarakat diabaikan, yang tidak penting justru diprioritaskan.

jalan apa adanya

longsor

Apa iya, pemerintah Kalimantan Timur kelebihan duit sehingga tidak tahu lagi mau membangun fasilitas apa yang sangat diperlukan oleh masyarakat Balikpapan? Kalau begitu, dalam rangka dirgahayu Republik Indonesia (RI) yang ke-68 ini, usul saya, tolonglah kirimkan sebagian duit yang berlebihan itu ke tangan pemerintah Sumatera Utara (Sumut), supaya mereka bisa membangun desa-desa tertinggal dan membangun jalan ataupun membangun yang perlu dibangun disana. Siapa tahu duit propinsi Sumut minus gara-gara habis membangun bandara Kualanamu kemarin. Lagipula, saling membantu antar propinsi, boleh, kan?

***

Dan juga masih dalam rangka dirgahayu RI ini, marilah kita semua bangsa Indonesia mengubah mental kita menjadi manusia merdeka. Bangsa kita memang sudah merdeka, tapi kita belum sepenuhnya bermental merdeka. Lantas bagaimana pula manusia bermental merdeka ini? Menurut saya, ciri manusia bermental merdeka itu, antara lain: memiliki cara berpikir yang baik, selalu ingin melakukan hal yang benar, mendahulukan kepentingan orang banyak diatas kepentingan pribadi, tidak menyukai praktik korupsi, selalu ingin membenahi yang tidak beres, selalu ingin maju dan memajukan orang lain, tidak ingin terpuruk di dalam kubangan ketidakjelasan dan kekacauan, tidak takut memerangi praktik-praktik kejahatan atau teror ataupun sejenisnya, mencintai didikan, tidak senang melihat orang susah, senang melihat orang lain maju dan berkembang, mempermudah hal yang sulit, tidak bertele-tele menyelesaikan masalah. Dan di atas segalanya, manusia bermental merdeka sudah barang tentu takut akan Tuhan.

***

Saya percaya, dengan bermental merdeka, Indonesia akan menjadi bangsa yang lebih baik di masa depan. Dan juga saya percaya, dengan bermental merdeka, di masa depan tidak akan ada lagi bangunan-bangunan maupun proyek-proyek yang tidak tepat guna dan tidak tepat sasaran di negeri kita tercinta ini.

***

Merdeka!

9 Replies to “Merdeka!”

  1. Menurut aku kalau antar propinsi setelah adanya otonomi daerah gak ada deh ceritanya memberikan pinjaman ke daerah lain. Semua pada mikirin daerah sendiri deh, kecuali mintanya ke pemerintah pusat

    Like

  2. Ah, di Pekanbaru juga banyak sekali proyek yang konon katanya pembangunannya menghabiskan banyak uang tapi gak jelas gunanya.. 😦

    Like

  3. Setuju, tinggal sekarang bagaimana menggugah rasa kemerdekaan yang seperti ini di hati semua orang karena kayanya yang dipegang banyak orang sampai saat ini adalah pengertian merdeka yang keliru.

    Like

Comments are closed.