Tsunami Itu…

Teman baik saya pernah menceritakan satu bagian dari kisah hidupnya kepada saya. Sekarang saya mau membagikannya disini. Lumayan panjang memang, semoga para pembaca yang budiman tidak bosan. Mudah-mudahan bermanfaat. Selamat membaca.

***

TSUNAMI

Tahun 2006, keluarga saya dihantam tsunami. Tsunami yang memporak-poranda keluarga kami. Bapak saya dan sebagian keluarga besar menyalahkan ibu atas tsunami yang menimpa keluarga kami. Harus ada yang menjadi kambing hitam, toh? Saking kecewanya bapak terhadap ibu, alih-alih mendampingi keluarganya di masa-masa sulit, bapak meninggalkan kami dan pergi ke kampung halaman. Tinggal disana, mabuk dan tak tahu mau kemana arah hidupnya.

Saya kecewa berat dan marah sama bapak waktu itu. Begitukah yang dinamakan pernikahan? Bukankah ada tertulis di janji nikah: …akan selalu mendampingi, dalam susah dan senang, kaya atau miskin, sampai maut memisahkan kita? Berarti semua itu palsu. Batin saya waktu itu.

Tapi didalam semua keterpurukan itu, saya tidak menyalahkan Tuhan, apalagi menyalahkan ibu. Saya percaya semua itu terjadi atas kehendak Tuhan. Tidak mungkin Tuhan salah membuat rencana. Jadi hadapi sajalah semua yang terjadi. Begitu jugalah saya katakan kepada adik-adik, yang waktu itu sudah merantau untuk bersekolah. Saya katakan begitu supaya mereka tidak ikut-ikutan membenci atau menyalahkan ibu. Bahwa semua orang pernah melakukan kesalahan. Jalan keluarnya pasti ada. Dan yang terpenting mereka tetap bisa sekolah.

Saya tetap mendampingi ibu. Karena beliau ibu saya. Takkan saya tinggalkan, apapun yang terjadi. Lagipula mau kemana saya lari? Dan untuk apa saya lari? Saya juga masih bekerja. Tempat saya adalah bersama ibu saya. Akan saya lakukan semampu saya untuk membantunya.

Karena di gereja yang lama orang-orang mulai mencibir, membuat ibu tak nyaman, saya pun mengajak ibu kebaktian di Gereja Bethel Indonesia (GBI) Kemah Daud. Gembalanya waktu itu Bapak Pendeta Bambang Yonan. Iya, GBI itu gereja yang kalau kebaktian bertepuk tangan, nangis-nangis, pokoknya tidak syahdu seperti kebaktian di gereja tradisional umumnya. Gereja yang tak pernah masuk dalam daftar untuk saya masuki, karena selalu ribut kalau kebaktian.

Dari mana saya tahu kalau mereka kebaktian selalu ribut? Dekat rumah saya dulu, pernah ada gereja karismatik semacam GBI ini. Kalau kebaktian selalu lengkap pakai musik (keyboard, drum, gitar, dll), tepuk tangan dan nangis. Penduduk yang tinggal di sekitar gereja itu kadang merasa terganggu karena keributan itu. Termasuk saya.

Tapi rupanya melalui gereja inilah kami dikuatkan. Saya mengetahui GBI Kemah Daud ini dari seorang teman kantor yang terpercaya. Di gereja ini pula saya pertama kali mendengar lagu “Still”, yang liriknya sangat cocok menggambarkan keadaan kami waktu itu. Air mata saya selalu keluar kalau menyanyikan lagu ini. Bahkan sampai sekarang. Nanti di akhir tulisan akan saya beri liriknya.

***

PERINGATAN

Beberapa kali sebelum tsunami itu terjadi, saya telah memperingatkan ibu. Perasaan saya tidak enak. Saya merasakan ada sesuatu yang salah, makanya saya memperingatkan ibu. Jika anda bergaul bersama Tuhan, maka jiwa anda semakin peka.

Pernah juga terjadi peringatan berupa tsunami “kecil” yang tidak begitu merusak. Ternyata maksudNya supaya kami bersiap-siap untuk tsunami yang “sesungguhnya”.

Entah peristiwa seperti apa pun yang akan terjadi kepada manusia, sebenarnya Tuhan sudah memperingatkan koq. Karena kurang peka dan terlalu sibuk dengan dunia ini, kita mengabaikannya.

***

AYAH

Setahun sebelum tsunami itu datang, saya pernah mengikuti retret muda mudi. Retret itu semacam acara siraman rohani. Dalam suatu acara doa kelompok, pimpinan kelompok saya bertanya kepada semua anggota apakah ada yang mau didoakan khusus. Mungkin keluarga, pendidikan, jodoh, pekerjaan, dan lain sebagainya.

Saya pun mengajukan diri dan berkata, “Tolonglah doakan Bapak saya supaya bertobat. Bapak saya ngakunya Kristen. Tapi dia tak pernah kebaktian. Saya pun tak tahu apakah beliau sudah menerima Yesus sebagai Juru Selamat pribadinya atau belum. Saya tak mau kalau suatu saat nanti Bapak saya meninggal, beliau masuk ke neraka. Jadi, tolonglah doakan, Pak. Terima kasih.” Pimpinan kelompok kami pun membawa nama bapak saya dalam doanya.

Selama lebih dari 20 tahun saya tinggal bersama Bapak, beliau hanya ke gereja saat kami dibaptis, naik sidi, Natal atau Tahun Baru. Itu pun kalau kami merayakannya di kampung halaman. Saat hari Minggu tiba, beliau selalu rajin menyuruh kami kebaktian. Kadang mengantar dan menjemput kami ke gereja, tapi tak ikut masuk. Saya pernah protes kepada bapak mengenai sikapnya itu. Tapi beliau hanya diam-diam saja.

Pernah pada ulang tahunnya yang ke lima puluh sekian, saya menghadiahinya Alkitab. Saya pikir hatinya akan tersentuh, mau membaca Alkitab, bertobat dan akhirnya ke gereja lagi. Tapi ternyata tidak. Alkitab itu cuma teronggok di rak bukunya.

Jangan salah sangka, meskipun bapak tidak ke gereja, beliau memiliki karakter yang baik. Beliau dijuluki orang “yang paling lurus” di kantornya. Dijuluki begitu karena beliau tidak pernah melakukan praktek yang tak bermoral seperti korupsi, selingkuh, dlsb. Bapak pun disukai banyak orang karena beliau humoris dan bisa berteman dengan siapa saja.

***

SAKIT

Setelah tsunaminya reda, ibu pun menyusul bapak ke kampung, sambil sekali-sekali masih datang ke kota. Saya masih tetap bergereja di GBI. Kalau ibu datang, apalagi kalau pas hari Minggu beliau masih ada di kota, saya pasti membawanya kebaktian di GBI.

Pada suatu hari Minggu, setelah selesai kotbah, sebelum doa penutup, Pendeta Bambang yang melayani saat itu, berkata di altar, “Di ruangan ini ada seseorang yang hatinya sangat menderita karena orang lain. Saya mau memberitahu anda, supaya anda memberikan pengampunan kepada orang yang telah menyakiti hati anda itu.” Lanjutnya lagi, “Ampunilah orang yang telah menyakiti hati anda itu.”

Saya terhenyak dan membatin, “Apakah saya yang dimaksud Pak Pendeta itu? Koq dia bisa tahu ya? Ya iyalah, dia kan Pendeta dan pastinya sudah diurapi Tuhan.” Ibu saya yang duduk di samping saya, menyikut lengan saya dengan maksud memperingatkan saya supaya mendengar pesan Pak Pendeta itu. Waktu itu saya memang masih menyimpan amarah dan kekecewaan yang besar kepada si X, seorang anggota keluarga yang lebih memikirkan kepentingannya daripada keselamatan ibu saya.

Yang paling membuat saya marah dan kecewa kepada si X ini adalah, dia “anak Tuhan”, tapi perangai dan kata-kata yang keluar dari mulutnya, saat tsunami itu datang, bukan seperti “anak Tuhan”. Saya tak tahan dan tak mau melihat wajahnya. Saya akan memalingkan wajah tiap kali bertemu dengannya. Atau kalaupun saya terpaksa menatapnya secara langsung, pastilah kemarahan itu dengan jelas tercetak di wajah saya.

Memang benar, menyimpan amarah itu hanya mengeringkan tulang, mendatangkan penyakit, wajah tambah jelek. Yang tadinya sudah jelek, semakin bertambah jelek. Sakit pikiran dan sakit hati membuat kekebalan tubuh pun berkurang. Satu tahun setelah tsunami itu, saya sakit tipus. Sebulan lamanya saya tak masuk kantor. Lihat siapa yang rugi? Saya sendiri. Sudah jatuh, tertimpa tangga pula kata pepatah.

***

BERTOBAT

Meskipun ibu sudah tinggal kembali dengan bapak, bapak belum memaafkan ibu. Bapak sering melontarkan kata-kata ketus yang membuat ibu sedih. Tatapannya pun tatapan menghina. Bahkan ibu yang waktu itu masih kurus kering, sempat berpikir untuk kembali ke kampung halamannya, meninggalkan bapak. Karena sepertinya tak ada lagi kasih dari bapak dan pintu maaf tak terbuka lagi. Tapi ibu teringat pada kami anak-anaknya. Anak-anak yang pernah dimintanya dulu dari Tuhan. Maka demi kami, ibu bertahan.

Hingga pada suatu pagi mereka sedang jalan kaki, ayah kembali melontarkan kata-kata yang merusak jiwa itu. Ibu yang sudah berdoa supaya diberi Tuhan kekuatan untuk berbicara kepada bapak, akhirnya menegur bapak pagi itu.

“Tunggu sebentar. Ada yang mau kubilang. Kenapa kau bilang saya membuatmu nol? Kejam sekali. Hati-hati kalau bicara, nanti benar-benar dibikin Tuhan supaya kau nol. Anak-anak sudah besar, sudah sekolah dengan bagus. Kenapa nol kau bilang? Sebentar lagi mereka akan bekerja. Saya memang salah. Iya, saya yang bersalah. Saya membuatmu dan seluruh keluarga besar menjadi malu. Maafkanlah saya. Mudah-mudahan semua keluarga besar juga bisa memaafkan saya. Mungkin ada maksud Tuhan dibalik semua yang terjadi ini. Ingatlah kepada Ayub yang di Alkitab itu. Dia orang benar, tapi dalam sekejap mata, semua yang dimiliki Ayub lenyap. Masak kita hanya mau menerima apa yang baik dari Tuhan, tapi tak mau menerima yang tidak baik? Mungkin semua ini terjadi karena kesombonganmu selama ini, untuk memperingatkanmu supaya bertobat. Siapa tahu, mungkin suatu hari nanti Tuhan akan memberikan lebih dari yang sudah diambilNya sekarang.”

Bapak terdiam dan tak berkata apa-apa lagi sepanjang jalan.

Beberapa lama setelah peristiwa itu, bapak mulai membaca Alkitab dan “Manna Sorgawi” (semacam renungan harian) yang saya berikan tiap bulan kepada ibu. Bapak pun akhirnya rutin pergi ke gereja tiap hari Minggu.

Doa kami akhirnya terjawab, dengan cara-Nya yang ajaib dan tidak masuk akal manusia. Sekarang saya sudah yakin, kapan pun Tuhan memanggil bapak “pulang”, bapak sudah siap dan pasti menuju surga. Hubungan bapak dan ibu pun sudah kembali baik.

***

PERUBAHAN

Ibu mempunyai jalan pikiran yang baik dan maju, sehingga cocok dengan saya. Makanya setelah ibu tinggal bersama bapak di kampung, saya merasa kehilangan. Saya tak punya teman lagi untuk bertukar pikiran.

Saya bertanya-tanya apa yang selanjutnya akan saya lakukan dalam hidup ini. Tsunami sudah lewat. (Meskipun sisa-sisa tsunami itu masih ada dan membekas di hati saya untuk selamanya). Hubungan orangtua pun sudah membaik. “Lalu selanjutnya apa? Mau ngapain?,” tanya saya dalam hati.

Jiwa saya gelisah tak nyaman. Saya perlu perubahan. Perubahan dari semua rutinitas selama ini. Perubahan pekerjaan misalnya. Saya merasa tidak sejalan lagi dengan visi dan misi BUMN tempat saya bekerja kala itu. Maka saya pun memutuskan untuk mengundurkan diri. Saya yakin masih banyak pekerjaan bagus diluar sana, yang bisa dilakukan, asalkan saya mau.

Banyak teman kantor yang menyayangkan keputusan saya itu. Mereka bilang: “Untuk apa? Kamu kan sudah jadi pegawai tetap. Kamu mau ngejar apa sih? Sayang lho kalau ditinggalkan. Zaman sekarang susah nyari pekerjaan.”

Awal bulan Agustus 2008, saya resmi jadi pengangguran. Beberapa hari setelah menganggur, saya melihat ada tawaran kerja menarik, tapi tempatnya jauh, di ibukota sana. Saya pun bertanya pada Tuhan apakah saya pergi atau tidak? Saya agak ragu meninggalkan kota kelahiran saya itu. Meninggalkan orangtua saya. Meninggalkan masa lalu.

Kalau saya pergi, saya merasa, semua tidak akan pernah sama lagi. Semuanya pasti akan berubah. Tapi memang itulah yang saya butuhkan saat itu. Perubahan. Namun saya tak menyangka perubahannya akan drastis.

***

PERGI

Saya tidak bertanya perihal tawaran pekerjaan itu kepada orangtua saya di kampung. Saya tak mau merepotkan mereka dengan masalah saya. Sudah cukuplah terkuras energi mereka untuk tsunami kemarin. Lagipula saya sudah terbiasa menyelesaikan masalah saya sendiri dengan bertanya pada Tuhan. DIALAH SATU-SATUNYA yang dapat dipercaya dan diandalkan.

Saya tunggu jawabanNya hingga beberapa hari. Saya minta “tanda”, tetap tak ada juga. Batas waktunya semakin dekat. Akhirnya pada suatu hari Minggu, saya “paksa” Tuhan untuk menjawab SEGERA dalam kebaktian di GBI. Saya bilang, “Tuhan, TOLONGLAH saya. Saya perlu jawabanMu segera. Apakah saya pergi atau jangan pergi? TOLONGLAH berikan jawabannya melalui Pendeta siapapun yang berkotbah nanti.”

Ternyata benar. Pertanyaan saya dijawabNYA, persis dengan cara yang saya minta. Dengan tegas, melalui Bapak Pendeta yang berkotbah waktu itu, IA menjawab: “PERGILAH. JANGAN TAKUT KEPADA PERUBAHAN. AKU AKAN MENYERTAIMU SENANTIASA.”

Setelah Pak Pendeta berkata begitu, kepala saya langsung tertunduk, menangis. Saya merasa lega dan sedih sekaligus. Saya mengucapkan terima kasih padaNya karena pertanyaan sudah terjawab. Kalau manusia yang berkata (baca: menyuruh), masih bisa ditolak. Tapi kalau Tuhan yang berkata (baca: menyuruh), tidak mungkin salah, maka harus ditaati.

Saya pun mengabarkan orangtua saya kalau saya hendak pergi ke ibukota. Mereka kaget. Bapak menyangka saya sudah stres. Ibu saya datang mewakili mereka berdua untuk mengantarkan saya berangkat. Ibu masak ayam kesukaan saya. Mengapa bukan saya yang datang untuk pamit kepada mereka di kampung? Karena waktunya sangat sempit, seperti yang sudah saya tuliskan diatas. Kemarin dijawab Tuhan, lusa saya harus berangkat. Banyak yang harus disiapkan. Seperti tiket, pakaian, ijazah, dll. Makanya saya tak punya waktu untuk ke kampung.

Ibu berpesan, jika dalam waktu tiga bulan saya tidak mendapat pekerjaan, maka saya harus pulang. Saya mengiyakan pesannya, namun saya juga percaya kepada janji Tuhan. DIA tidak akan menelantarkan saya di ibukota sana.

***

HIDUP YANG BARU

Selama beberapa bulan, saya tinggal di tempat saudara saya yang baik hati. Saya tinggal dirumahnya hingga saya bisa berdiri sendiri dan menemukan tempat tinggal.

Saya tidak mendapatkan tawaran pekerjaan yang menarik itu. Sebagai gantinya, saya malah diterima bekerja di LSM. Pekerjaan yang sebenarnya sudah lama saya minati, namun dulu tidak saya ambil karena tidak mendapat restu dari orangtua.

Saya menyukai pekerjaan saya yang baru. Bertemu orang baru. Mengunjungi tempat yang baru. Semua serba baru. Saya senang.

***

DICOMBLANGI

Tahun Baru 2009, kami berkunjung ke rumah salah satu saudara. Mereka mengundang kami untuk menyantap Papeda, makanan khas dari Papua berupa bubur sagu. Saudara kami ini pernah tinggal lama di Papua, makanya beliau sudah mahir masak Papeda. Papedanya dimakan dengan ikan berkuah gurih. Enak sekali rasanya.

Kami pun ngobrol ngalur ngidul kesana kemari hingga akhirnya beliau bertanya tentang status saya, apakah sudah punya pacar atau belum. Kalau memang belum, apakah boleh dikenalkan kepada seorang keluarga tetangganya, yang saat itu ia ketahui sedang mencari istri?

Topik pembicaraan seperti inilah yang paling saya hindari. Saya datang ke ibukota untuk bekerja, bukan untuk mencari pacar. Lagipula, awalnya kan hanya mau makan Papeda, koq sekarang malah mau dicomblangi?

Demi menjaga etika bertamu, saya pun mengiyakan permintaannya, tapi tidak berharap apa-apa. Karena memang mencari pacar belum ada dalam daftar saya. Saya datang ke ibukota untuk bekerja. Titik. Dalam hati saya berkata, “Paling-paling juga gagal. Seperti yang dulu-dulu. Tapi tak apalah. Lumayan, menambah teman baru.” Saya pun memberikan nomor telepon saya yang bisa dihubungi.

Dengan seabreg kegiatan di tahun yang baru, saya pun tidak ingat lagi dan tidak begitu peduli kepada “percomblangan” itu. Hingga beberapa waktu kemudian, seseorang menelepon saya. Perempuan. Ternyata dari keluarga yang dicomblangkan dengan saya itu. Suaranya ramah dan beliau berbicara panjang lebar. Tentu saja saya menanggapinya dengan sopan. Tak ada alasan untuk tak sopan.

***

PERTEMUAN

Beberapa lama setelah peristiwa telepon itu, saya pun berkenalan via dunia maya dengan laki-laki yang dicomblangi dengan saya itu. Dia bekerja di negeri yang jauh. Itu sebabnya kami tak dapat bertemu secara langsung.

Saya manusia “kesan pertama”. Maksudnya begini, jika “kalimat pertama” dari laki-laki itu berkesan, maka saya akan meneruskan perkenalan itu. Kalau tidak, maka saya tidak akan melanjutkan hubungan itu. Untuk apa membuang waktu untuk hal yang tak berguna dan tidak disukai? Jadi biasanya, kalau kesan pertamanya tidak pas di hati saya, nama laki-laki itu langsung saya coret dari daftar.

Ibu saya kurang setuju dengan sikap “kesan pertama” saya itu. “Bagaimana kau bisa tahu orangnya seperti apa? Dia baru bilang “halo”, sudah langsung kau coret namanya dan tak mau lagi menerima teleponnya,” katanya suatu hari memprotes prinsip saya itu. Sudah banyak yang dikenalkan tapi satu pun tak ada yang “nyangkut” di hati. “Mana ada yang pas persis seperti yang di hatimu itu,” kata ibu lagi.

Disinilah ibu saya salah. Laki-laki yang baru dicomblangi dengan saya itu, ternyata punya gaya berkenalan yang unik. Kalimat pertamanya membuat saya tertawa. Hahaha. Menarik. Saya pun tak mencoret namanya dari daftar.

Setelah beberapa bulan berhubungan lewat dunia maya, kami pun bertemu secara langsung untuk pertama kalinya. Orangnya baik, nampaknya sabar dan tidak merokok. Setelah “kesan pertama” lewat, kriteria penilaian kedua adalah “tidak merokok”. Dua dari penilaian pertama telah lulus.

Saya senang bertemu dengannya.

***

MENIKAH ATAU TIDAK MENIKAH

Saya pun memberitahu orangtua saya tentang pertemuan dengan laki-laki itu. Diluar dugaan, ternyata keluarga saya mengenal keluarga laki-laki itu. Adik-adik pun saya beritahu juga. Mereka penasaran seperti apa orang yang berhasil tidak “tercoret” dari daftar saya itu. Hahaha.

Laki-laki itu kembali ke tempatnya bekerja yang nun jauh di mata. Kami masih sering bertemu di dunia maya.

Beberapa bulan berlalu. Keluarga saya yang jadi Mak Comblang itu bertanya-tanya bagaimana kelanjutan “cerita” kami. Sepertinya mereka berharap untuk hubungan yang serius. “Dijalani sajalah dulu,” jawab saya.

Saya agak “gentar” dengan yang namanya pernikahan. Apalagi setelah melihat sikap bapak saat tsunami itu. Selain itu, salah satu keluarga saya juga pernah berkata, “Pernikahan adalah penderitaan seumur hidup.” Ibu juga pernah mengucapkan, “Suami biasanya kurang menghargai istri yang kurang pintar masak.” Bagaimana tidak semakin gentar saya mendengar semua itu? Tak mungkin mereka bicara asal-asalan, pastilah berdasarkan pengalaman.

Ada beberapa pernikahan yang saya lihat kandas di tengah jalan gara-gara tidak lagi sejalan seiring. Ada suami yang “ringan tangan” alias tukang pukul. Ada yang tukang selingkuh. Ada pula yang meninggalkan suami atau istrinya karena tak mendapat keturunan. Memang banyak juga yang bahagia dan setia. Seribu satu macamlah pokoknya.

Dulu saya pikir pernikahan adalah ide yang “gila”. Kenapa saya sebut begitu? Koq bisa-bisanya dan mau-maunya tinggal seatap, seumur hidup pula, dengan “orang asing” yang notabene bukan keluarga kita? Gila, kan?

Tapi Tuhan meyakinkan saya melalui adik saya yang nomor dua. Dialah yang “meyakinkan” saya supaya tidak “gentar” untuk memilih menikah. Katanya dengan bijaksana, “Kau bukan mereka, kak. Kau juga bukan orangtuamu. Kita tidak bisa mengubah masa lalu. Yang penting adalah masa sekarang. Lakukanlah yang terbaik sekarang untuk masa depanmu.

***

PERMINTAAN

Semasa bekerja, orang sering bertanya kapan saya akan menikah. Saya sering menjawab, “Bulan Desember. Tapi belum tahu Desember tahun berapa, tanggal berapa dan dengan siapa. Karena calonnya pun belum ada. Tapi pokoknya bulannya Desemberlah.”

Kenapa bulan Desember? Saya senang dengan bulan terakhir yang ada di sistem penanggalan Gregorian itu. Kesannya khusyuk, adem, sejuk, dingin, dlsb. Pasti seru kalau menikah di bulan yang sama dengan kelahiran Yesus Juru Selamat Manusia.

Saya juga selalu berdoa meminta jodoh saya kelak seperti ini, “Tuhan, kalau Engkau berkenan agar saya menikah, maka pertemukanlah saya dengan laki-laki itu. Berikanlah tanda di hati saya kalau dia adalah laki-laki itu. Berikanlah saya laki-laki yang terbaik menurutMu, jangan menurut saya. Karena apa yang terbaik menurut saya, belum tentu terbaik menurutMu. Anak Tuhan. Pintar. Sayang kepada ibunya, nantinya ia juga akan menyayangi saya. Sayang kepada keluarganya, nantinya ia juga akan sayang kepada keluarga saya. Tidak merokok. Tidak pemabuk. Tidak penjudi. Punya pekerjaan, sehingga kelak ia dapat menafkahi keluarganya. Tidak tukang pukul istri. Baik hati dan tidak sombong.”

Terlalu panjang? Namanya juga minta jodoh untuk seumur hidup, ya harus spesifik. Nyari sepatu saja bisa berjam-jam, apalagi nyari jodoh?

Saya jadi menikah di bulan Desember tahun 2009, dengan laki-laki itu. Cinta kami memang cinta kilat. Laki-laki itu yang mengajak saya menikah, masakan saya tolak? Laki-laki itu pulalah yang memilih tanggal dan bulan pernikahan. Saya kaget juga. Ternyata permintaan saya benar-benar dipenuhi Tuhan. Makanya hati-hati dengan permintaanmu.

Kecuali bagian “tidak merokok”, yang lainnya dipenuhi Tuhan. Sebab, di hari pernikahan saya akhirnya tersingkap bahwa, laki-laki yang sudah menjadi suami saya itu ternyata perokok. Apakah saya kecewa? Ya, sedikit. Karena selama saya bertemu dengannya, dia tak pernah merokok. Mengapa justru di hari pernikahan kami, dia merokok? Hahaha. Entahlah. Hanya Tuhan yang tahu. Tapi dialah laki-laki terbaik yang diberikan Tuhan kepada saya untuk menjadi suami saya. Sesuai janji pernikahan yang telah saya ucapkan dihadapan manusia dan Tuhan, saya akan menerimanya bagaimanapun keadaannya, hingga kematian memisahkan.

***

PENGAMPUNAN

Menjelang pernikahan, saya kembali ke kota kelahiran saya untuk mempersiapkan ini dan itu serta menyelesaikan ini dan itu. Termasuk menyelesaikan “amarah” saya kepada si X, anggota keluarga saya, yang saat tsunami itu hanya mementingkan kepentingannya.

Ada orang yang bisa memaafkan orang lain dalam tempo semenit, sehari atau sebulan. Ada juga yang bertahun-tahun, tapi ada pula yang tak bisa memaafkan sampai akhirnya orang itu mati. Jika kita tak bisa memaafkan seseorang atas kesalahannya, bagaimana Tuhan mau memaafkan kesalahan kita?. Bukan itu yang saya mau. Tuhan sudah mengampuni kita, maka kita pun harus mengampuni orang yang bersalah kepada kita.

Ketika saya mendengar berita bahwa si X ini sakit, saya pun pergi menjenguknya. Kami bersalaman dan mengobrol dengan baik. Lega sudah hati saya. Saya telah total mengampuninya. Sebenarnya kebencian saya kepadanya sudah berangsur-angsur luntur di masa perantauan saya itu. Karena sesungguhnya, si X ini mempunyai jasa yang besar dalam hidup saya. Makanya dulu saya sangat kecewa karena kelakuannya itu.

Kalau si X tak bisa memaafkan saya, itu bukan bagian saya. Saya telah melakukan bagian saya. Tak bisa saya melarang orang lain untuk tidak membenci saya. Tak bisa saya kendalikan orang lain. Hanya diri sayalah yang bisa saya kendalikan.

***

AKHIR KATA

Jauh sebelum menikah, saya telah berprinsip untuk 100% dalam pernikahan. Bukan 50% saya, 50% suami. Dua-duanya harus 100%, sebenarnya. Tapi kalau ternyata pasangan kita tak bisa 100%, apa boleh buat. Yang jelas, saya harus 100%.

Apakah kami pernah bertengkar? Tentu saja. Kalau tak pernah, tak seru juga. Tak ada gregetnya. Hahaha. Apakah pernikahan saya bahagia? Kebahagiaan itu tidak datang dengan sendirinya, harus diusahakan.

Saya pikir, tak ada pasangan yang ingin pernikahannya berakhir, ya? Pasti semua berharap selalu bersama untuk selamanya. Namun saya pernah berkata begini kepada suami saya, “Kalau abang bertemu perempuan lain, abang menyukainya dan ingin bersamanya, beritahu saya. Saya tak keberatan. Tapi jangan saya mengetahuinya dari orang lain.”

Bukannya saya tak sayang kepada suami. Justru karena saya sayang, makanya saya membebaskannya. Jika ternyata di kemudian hari, ia tak cukup bahagia dengan saya, maka saya tak akan menahannya. Bukankah kasih itu seharusnya tidak memenjarakan?

Kalau saya.. Cukuplah sekali saja untuk selamanya. Saya sudah kapok menikah satu kali. Hahaha.

Lebih baik kita berkata jelas dari awal, bukan? Saya tak bisa dan tak mau menebak atau membaca pikiran orang lain. Baiknya kita utarakan dengan jelas, apa yang kita mau.

Diatas segalanya, serahkanlah hidupmu kepada Tuhan. Dan berharaplah kepada Tuhan saja. Celakalah kita jika berharap kepada manusia. Manusia cenderung mengecewakan, Tuhan tidak. Semua yang baik dan yang buruk yang diberikanNya kepada kita, adalah demi kebaikan kita.

Tertulis dalam Yesaya 55:9, “Seperti tingginya langit dari bumi,demikianlah tingginya jalan-Ku dari jalanmu dan rancangan-Ku dari rancanganmu.” Mungkin kalau tsunami itu tak pernah terjadi, bapak saya takkan pernah bertobat dan saya takkan pernah bertemu suami saya.

Meskipun kita sendirian atau tidak, Dia selalu bersama kita. Hanya TUHAN lah gunung batu. Hanya TUHAN lah yang layak disembah.

Terima kasih.

***

Seperti yang telah saya janjikan diatas, berikut ini saya tuliskan lirik lagu “Still”:

Hide me now
Under Your wings
Cover me
Within Your mighty hand

When the oceans rise and thunders roar
I will soar with You above the storm
Father you are King over the flood
I will be still, know You are God

Find rest my soul
In Christ alone
Know His power
In quietness and trust

When the oceans rise and thunders roar
I will soar with You above the storm
Father You are king over the flood
I will be still, know You are God

4 Replies to “Tsunami Itu…”

  1. Aku juga suka lagu ini. Hillsongs. Si Abang sering mainin gitarnya nyanyiin lagu ini 🙂
    Kisahnya menarik, ada beberapa hal aku kurang sependapat tapi tak bijak mempertentangkan sebuah selera keputusan, bukan? 😉

    Like

    1. haha yoi kak, beda orang beda selera beda latar belakang, beda semua lah 😀 tapi kupikir pastilah dia sudah mempertimbangkan/menggumulkan dgn bijak sebelum mengambil sebuah keputusan.

      Like

Comments are closed.